Hidayah Hanya Milik Allah Subhanahu wa Taala
HIDAYAH HANYA MILIK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9 : 113]
Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. [Al Qashash/28 : 56].
Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.
Pertama : Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103).”
Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatakan oleh Allah tidak dimiliki oleh Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah Subhanahu w Ta’ala menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.
Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.
Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah”. [Ar Ra‘d/13 : 7].
Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah”. [Asy Syura/42 : 52-53]
Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, dipakai untuk makna memasukkan petunjuk ke dalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.
Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. [Asy Syura : 52].
Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak dapat membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi mungkar, berdalih dengan ayat “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.
Kedua : Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.
Di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al Qur`an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia” (Maryam : 35). Demikian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Maryam : 92). Dan firmanNya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin : 40). Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur”. [HR Muslim].
Kemudian firmanNya “mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik”, maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.
Sedangkan firmanNya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamk meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.
Allah melarang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak untuk dimintakan ampunan. Jika engkau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.
Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.
Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dalam Al Qur`an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud di sini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para rasul, para nabi dan para wali, serta selain mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup dari meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak mau memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau memohon kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka -saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah, atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a‘lam.”
Ketiga : Sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ucapkanlah la ilaha illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang-orang yang mengaku berilmu.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna kalimat “la ilaha illallah”, sehingga setiap orang yang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan kekufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan Allah, dan menjadikan para rahib atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah. Seandainya mereka mempunyai hati untuk memahami kalimat itu, tentu mereka akan mengetahui, makna la ilaha illallah ialah berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan melaksanakan hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat ” [Al Baqarah : 256]”
.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan, golongan Khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur`an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”Seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihain.
Jika sekadar mengucapkan la ilaha illallah sudah cukup, tentu tidak akan terjadi peperangan antara Rasulullah n dengan kaum musyrikin. Bukankah kaum musyrikin pada saat itu juga memahami kalimat la ilaha illallah, bahkan pemahamannya melebihi orang-orang yang mengaku berilmu pada zaman sekarang ini? Namun Allah telah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak memahami.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, bahwa perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (yaitu, berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu) pada point ketiga ini, seolah-olah beliau menunjuk kepada penafsiran para ahli ilmu kalam terhadap makna kalimat la ilaha illallah, yakni mereka (ahli ilmu kalam) mengatakan, bahwa al ilah (dalam kalimat tersebut) adalah Dzat yang Maha Kuasa untuk melakukan ikhtira‘ (mencipta sesuatu tanpa contoh sebelumnya), dan tidak ada yang mampu untuk melakukan ikhtira‘, kecuali hanya Allah semata. Ini adalah tafsir yang batil.
Memang benar, bahwa tidak ada yang mampu melakukan ikhtira‘ kecuali Allah, namun itu bukan makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilaha illallah. Makna yang sebenarnya ialah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Karena, kalau mengatakan la ilaha illallah bermakna tidak ada yang mampu melakukan ikhtira` kecuali Allah, maka orang-orang musyrik yang dahulu diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga para wanita, anak-anak, dan harta mereka beliau bolehkan untuk ditawan dan diambil, telah menjadi muslim.
Jadi, secara zhahir perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini menunjukkan bahwa (mereka yang mengaku berilmu tersebut) adalah para ahli ilmu kalam yang menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan Tauhid Rububiyah, dan begitu pula orang-orang yang menyembah Rasulullah dan para wali tetapi berani berkata, ‘Kami mengucapkan la ilaha illallah.’”
Maraji‘:
1. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Ibad, oleh Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2921-hidayah-hanya-milik-allah-subhanahu-wa-taala.html